Monday, May 14, 2018

MAKALAH LENGKAP ABSES PERITONSIL


KATA PENGANTAR
      Limpahan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,atas segala Rahmad dan Karunia-nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan judul “Abses Peritonsil”.
      Kami selaku penulis menyadari penulisan makalah ini banyak kekurangannya dan jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan waktu dan kemampuan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya senantiasa membangun dan melengkapi kesempurnaan makalah ini.
       Dengan selesainya makalah ini, tidak terlepas dari bantuan dan partisipasi dari semua pihak oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati kami selaku penulis makalah menyampaikan ucapan terimah kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya Semoga segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada kami selaku penulis  bernilai ibadah dan mendapat imbalan serta limpahan rahmad dan karuniah Tuhan Yang Maha Esa,Amin.
      Akhir kata kiranya tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca terutamah dalam menambah wawasan dan pengetahuan serta perkembangan ilmu keperawatan di masa mendatang.
Makale,13 July 2016
Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL  ..................................................................................................                   i
KATA  PENGANTAR  ...........................................................................                  ii
DAFTAR ISI  ............................................................................................                 iii
ISI
I.            PENDAHULUAN 
A.    Latar belakang  ..........................................................................                  1
B.     Tujuan Penulisan  ......................................................................                  2
II.                PEMBAHASAN
A.    Defenisi  ...................................................................................                  3
B.     Epidemologi  ............................................................................                  4
C.     Etiologi  ....................................................................................                  4
D.    Patofisiologi .............................................................................                  5
E.     Gambaran Klinis  .....................................................................                  6
F.      Diagnosa  .................................................................................                  7
G.    Komplikasi  ..............................................................................                  9
H.    Penataaksanaan ........................................................................                  9
I.       Prognosis  .................................................................................                11
III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan  .............................................................................                12
B.     Saran  .......................................................................................                13

DAFTAR PUSTAKA  .............................................................................                   

 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi.1
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun.2
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.2
Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring yang bias menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.3
peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

B.     Tujuan
Setelah membaca makalah ini, Mahasiswa di harapkan dapat mengetahui tentang Abses Peritonsiler dan mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien Abses Peritonsiler.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi Abses Peritonsiler
Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.1
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan pembentukan nanah pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor pharing dengan tonsil pada fossa tonsilaris, dan dimulai dari fossa supra tonsilaris karena disini tedapat kripta magna8. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurgai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di diruang leher dalam yang terliba.
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior4
B.     Epidemology Abses Peritonsiler
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

C.     Etiologi Abses Peritonsiler
Etiologi Abses peritonsiler yang paling sering dijumpai adalah spesies aerobic dan anaerobic gram positif yang biasa didapatkan pada kultur, biasanya bakteri Streptokokus beta hemolitik grup A. Kadang-kadang infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai palatum mole. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsillitis, atau akhir dari perjalanan penyakit tonsillitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. 1
Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah infeksi campuran. Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling sering ditemukan adalah Streptococcus grup A atau grup B. Staphylococcus aureus, Fusobacterium dan bakteri gram negative anaerob juga sering ditemukan. 5% dari kultur menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena kebanyakan pasien mendapatkan terapi antibiotic sebelum dilakukan operasi pada stadium akut.6
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.2

D.    Patofisiologi
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

E.     Gambaran Klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan odinofagia (nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan pemeriksaan karena sulit membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi, muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), “hot potato voice” banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka mulut (trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin mengalami nyeri pada saat menggerakkan lehernya.
Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat dan khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan menonjol ke depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong kesisi kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis. Umumnya pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat adanya infiltrasi ke jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Sekret kental menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk membuangnya. Oleh karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi nafas yang berbau. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan.6

F.      Diagnosa
Informasi dari pasien (Anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.5
Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.7
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum molle dan penonjolan dari jaringan ini dari garis tengah. Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses dari selulitis. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan :  Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.5
·         Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan “distorsi” dari jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.5
·         Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.5
·         Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.5

G.    Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah1:
·         Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
·         Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
·          Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak
·         Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

H.    Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsilar dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasilakn dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.1
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.1
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.8
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

I.       Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang berulang.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka ena minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

B.     Saran
Setelah membaca makalah ini, Mahasiswa di harapkan mampu memahami mengenai penyakit Abses Peritonsiler serta mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien Abses Peritonsiler.



 DAFTAR PUSTAKA


Ø  Fachruddin,Darnila, Abses Leher Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokkan, editor Soepardi EA, Iskandar N, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ketiga, cetakan ke-2, Jakarta, 1998: 184-5.
Ø  Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at Okt 2010.
Ø  Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC, Jakarta.
Ø  Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55
Ø  E, Steyer, Terrence, M.D, Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment. Available at: www.aafp.org/afp, Accesed on Okt, 2010
Ø  Adams GL, Penyakit Rongga Mulut: Boeis, Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6, EGC, Jakarta , 1996: 333-4. www. google.com.
Ø  Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.
Ø  Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
Ø   Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986; 296, 308-09.

No comments:

Post a Comment