KATA
PENGANTAR
Limpahan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa,atas segala Rahmad dan Karunia-nya, sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Abses Peritonsil”.
Kami selaku penulis menyadari penulisan
makalah ini banyak kekurangannya dan jauh dari kesempurnaan yang disebabkan
oleh keterbatasan waktu dan kemampuan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan masukan dan kritikan dari semua pihak yang
sifatnya senantiasa membangun dan melengkapi kesempurnaan makalah ini.
Dengan selesainya makalah ini, tidak terlepas dari bantuan dan
partisipasi dari semua pihak oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati kami
selaku penulis makalah menyampaikan ucapan terimah kasih dan penghargaan yang
setinggi tingginya Semoga segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan
kepada kami selaku penulis bernilai
ibadah dan mendapat imbalan serta limpahan rahmad dan karuniah Tuhan Yang Maha
Esa,Amin.
Akhir kata kiranya tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca terutamah dalam menambah wawasan dan pengetahuan serta
perkembangan ilmu keperawatan di masa mendatang.
Makale,13 July 2016
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR
........................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
ISI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang .......................................................................... 1
B. Tujuan
Penulisan ...................................................................... 2
II.
PEMBAHASAN
A. Defenisi ................................................................................... 3
B. Epidemologi ............................................................................ 4
C. Etiologi .................................................................................... 4
D. Patofisiologi
............................................................................. 5
E. Gambaran
Klinis ..................................................................... 6
F. Diagnosa ................................................................................. 7
G. Komplikasi .............................................................................. 9
H. Penataaksanaan
........................................................................ 9
I. Prognosis ................................................................................. 11
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 12
B. Saran ....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Abses peritonsil termasuk salah satu
abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil, abses parafaring, abses
retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses submandibula
juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksi dari berbagai sumber
seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula
tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya
unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan
menunjukkan lokasi infeksi.1
Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak
jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi
bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi
ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun.2
Abses peritonsil adalah penyakit
infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan
dari bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa
terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior.2
Abses peritonsil terbentuk karena
penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan
aereolar yang longgar disekitar faring yang bias menyebabkan pembentukan abses,
dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas
otot konstriktor faring.3
peritonsillar abscess (PTA) merupakan
kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas
(localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis.
B. Tujuan
Setelah
membaca makalah ini, Mahasiswa di harapkan dapat mengetahui tentang Abses
Peritonsiler dan mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien Abses
Peritonsiler.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Abses Peritonsiler
Abses peritonsil sering disebut
sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan
peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.1
Peritonsillar
abscess (PTA) merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan pembentukan
nanah pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor pharing dengan tonsil
pada fossa tonsilaris, dan dimulai dari fossa supra tonsilaris karena disini
tedapat kripta magna8. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurgai kemungkinan
disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang
potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat perjalanan infeksi dari
berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di diruang leher dalam yang terliba.
Abses peritonsiler adalah penyakit
infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari
bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior4
B. Epidemology
Abses Peritonsiler
Abses
peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara
laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan
multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan
predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
C. Etiologi
Abses Peritonsiler
Etiologi
Abses peritonsiler yang paling sering dijumpai adalah spesies aerobic dan
anaerobic gram positif yang biasa didapatkan pada kultur, biasanya bakteri
Streptokokus beta hemolitik grup A. Kadang-kadang infeksi tonsila berlanjut
menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai palatum mole.
Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat
terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsillitis, atau akhir dari perjalanan penyakit
tonsillitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan penisilin. Biasanya
unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses
peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan
lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. 1
Mikrobiologi
yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah infeksi campuran.
Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling sering ditemukan
adalah Streptococcus grup A atau grup B. Staphylococcus aureus, Fusobacterium
dan bakteri gram negative anaerob juga sering ditemukan. 5% dari kultur
menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena
kebanyakan pasien mendapatkan terapi antibiotic sebelum dilakukan operasi pada
stadium akut.6
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.2
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.2
D. Patofisiologi
Patofisiologi PTA belum diketahui
sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan
(progression) episode tonsillitis eksudatif pertama
menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi
ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak
palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut,
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke
tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid
interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat
terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa
ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat
juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr
(yaitu: mononucleosis).
E. Gambaran
Klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu
dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Penderita
biasanya mengalami keluhan odinofagia (nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit
dilakukan pemeriksaan karena sulit membuka mulut dan juga bias terjadi
dehidrasi, muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), “hot potato
voice” banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka
mulut (trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan kelenjar
submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin mengalami nyeri pada saat
menggerakkan lehernya.
Pada kasus yang agak berat biasanya
terdapat disfagia yang nyata, nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena,
salivasi yang meningkat dan khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan
menonjol ke depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong
kesisi kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis. Umumnya
pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat adanya infiltrasi ke
jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya bertambah sesuai dengan
perluasan timbunan pus. Sekret kental menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk membuangnya.
Oleh karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi nafas
yang berbau. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan
submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang
terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan
lebih menakutkan.6
F. Diagnosa
Informasi dari pasien (Anamnesis)
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat
pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai
tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.5
Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang
sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum molle tampak
membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.7
Diagnosis jarang diragukan jika
pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula
melewati garis tengah, dengan edema dari palatum molle dan penonjolan dari
jaringan ini dari garis tengah. Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses
dari selulitis. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan : Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit,
dan kultur darah. Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosa abses
peritonsilar adalah dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi
jarum.5
·
Pemeriksaan
radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan “distorsi” dari
jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.5
·
Pada
pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yang
menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat
dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu
untuk rencana operasi.5
·
Ultrasonografi,
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan
pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara
pasti.5
G. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi
ialah1:
·
Abses
pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
·
Penjalaran
infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
·
Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak
·
Sejumlah
komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya
komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
H. Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan
antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur
dengan cairan hangat dan compres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang
tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin
merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsilar dan efektif pada 98% kasus
jika yang dikombinasilakn dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada
dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg
tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg dan dosis penjagaan 6
jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8
jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.1
Bila telah terbentuk abses,
dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying
abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate
yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien
Bila terdapat trismus, maka untuk
mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a”
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.1
Tonsilektomi merupakan indikasi
absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang
meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan
kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi
segera.8
Penggunaan steroids masih
kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa
penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral
telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
I. Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu
berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu
berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat
jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang
paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi
bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi
sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia
area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan
menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus
pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh
darah karotis.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang
dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen
harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium
infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah
terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya
adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses
leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis
eksudatifa yang berulang.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama
abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi
terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan, dimana angka
kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau
riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka ena
minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.
B. Saran
Setelah
membaca makalah ini, Mahasiswa di harapkan mampu memahami mengenai penyakit
Abses Peritonsiler serta mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien
Abses Peritonsiler.
Ø
Fachruddin,Darnila, Abses Leher
Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokkan, editor Soepardi EA,
Iskandar N, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi
ketiga, cetakan ke-2, Jakarta, 1998: 184-5.
Ø
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC, Jakarta.
Ø
Ballenger, John Jacob. M.S, M.D.
Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Binarupa Aksara. Jakarta.
Hal : 295-97, 318-23, 346-55
Ø
E, Steyer, Terrence, M.D,
Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment. Available at: www.aafp.org/afp,
Accesed on Okt, 2010
Ø
Adams GL, Penyakit Rongga Mulut:
Boeis, Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6, EGC, Jakarta , 1996: 333-4. www.
google.com.
Ø
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses
Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan,
Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.
Ø
Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin
Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal
: 19-21.
Ø
Adrianto,
Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986; 296,
308-09.
No comments:
Post a Comment